Jumat, 16 September 2011

Revitalisasi Fungsi & Peran Laboratorium Ergonomi


The function of the engineering profession is to manipulate materials, energy, and information, thereby creating benefit for humankind.  To do this successfully, engineers must have a knowledge of nature   that goes beyond mere theory or knowledge that is traditionally gained in education laboratories.

(Lyle D. Feisel and Albert J. Rosa, Journal of Engineering Education, Jan 2005)


Pendahuluan
       Laboratorium merupakan ruangan baik tertutup maupun terbuka yang dirancang sesuai dengan kebutuhan untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan yang saling terintegrasi serta ditunjang oleh adanya suatu infrastruktur yang dibutuhkan demi terwujudnya hasil optimal. Laboratorium di perguruan tinggi adalah tempat berlangsungnya kegiatan praktikum dan penelitian yang mendukung pembelajaran dan pengembangan keilmuan. Laboratorium di tingkat perguruan tinggi merupakan laboratorium pendidikan dan pengajaran difokuskan pada pembelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa S-0, S-1, S-2 dan S-3.
       Program pendidikan engineering tanpa praktikum akan menjadi program pendidikan applied mathematics. Tujuan dari pendidikan engineering adalah memberikan pengalaman praktek engineering, dan laboratorium merupakan  salah satu tempat untuk mendapatkannya. Dengan demikian dalam laboratorium mahasiswa dapat mempraktekkan metode-metode engineering yang merupakan jantung dari program pendidikan engineering. Laboratorium dan aktivitas/tugas perancangan (design) merupakan inti dari proses pendidikan di fakultas/jurusan teknik (engineering education). Praktek engineering yang pokok adalah kegiatan perancangan (design). Kegiatan ini menjadi pembeda utama profesi engineering dengan profesi yang lain.
 
       Jadi, kata kunci dalam pembelajaran melalui praktikum ini adalah pemberian pengalaman dalam melakukan praktek perancangan dan berbagai aspek pendukungnya seperti pengukuran, pemakaian alat uji, pengolahan dan analisis data, pemakaian perangkat lunak,  perancangan dan pelaksanaan eksperimen, pembuatan model, pengujian,  dan lain-lain.  Di Perguruan Tinggi laboratorium memiliki peran strategis untuk menjalankan Tridarma PT.  Laboratorium adalah suatu tempat untuk melakukan percobaan, pengukuran, atau penyelidikan yang berhubungan dengan suatu ilmu tertentu. Laboratorium dimaksudkan untuk menunjang program studi agar lulusannya mempunyai kompetensi sesuai dengan yang dirancang.

Fungsi dan Peran Laboratorium


       Laboratorium pendidikan yang selanjutnya disebut laboratorium adalah unit penunjang akademik pada lembaga pendidikan, berupa ruangan tertutup atau terbuka, bersifat permanen atau bergerak, dikelola secara sistematis untuk kegiatan pengujian, kalibrasi, dan/atau produksi dalam skala terbatas, dengan menggunakan peralatan dan bahan berdasarkan metode keilmuan tertentu, dalam rangka pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan/atau pengabdian kepada masyarakat. Laboratorium (disingkat lab) adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah dilakukan. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali. Laboratorium ilmiah biasanya dibedakan menurut disiplin ilmunya, misalnya laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biokimia, laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa. (Wikipedia)



       Struktur praktikum bergantung pada tujuan dari praktikum itu sendiri. Dalam hal ini dapat berupa praktikum yang sangat terstruktur (cookbook approach); diberikan petunjuk sebagian; dan dapat berupa praktikum tidak terstruktur. Praktikum terstruktur cocok untuk (a) mem -belajarkan skil psychomotor (b) meningkatkan kemampuan menggunakan alat, dan (c) mem-perkuat pemahaman teori. Praktikum tidak terstruktur memberikan persoalan yang bersifat terbuka dan mahasiswa harus mencari cara sendiri untuk menyelesaikannya. Sangat cocok diberikan pada mahasiswa tingkat akhir yang telah mempunyai banyak pengetahuan dan ketrampilan. Pengalaman belajar yang diberikan adalah melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Praktikum dapat dilakukan tersendiri atau merupakan bagian dari matakuliah.



       Tujuan pendidikan engineering adalah memberikan pengalaman praktek engineering sehingga laboratorium merupakan bagian yang sangat esensial dari pendidikan engineering. Dalam pendidikan engineering, dikenal 3 (tiga) macam laboratorium; yaitu (a) laboratorium pengembangan (development lab.), (b) laboratorium penelitian (research lab.); dan (c) labora-torium pendidikan (educational lab.). Laboratorium pengembangan, laboratorium ini diperlukan mahasiswa untuk mendapatkan data melalui eksperimen yang diperlukan untuk perancangan atau pengembangan produk.  Laboratorium penelitian, diperlukan mahasiswa untuk menguji hasil rancangan, dan untuk meneliti sesuatu sehingga memperkaya knowledge yang ada; kebutuhan jangka panjang. Sedangkan laboratorium pendidikan, diperlukan untuk mahasiswa mempelajari sesuatu yang diperlukan dalam praktek engineering.



       Visi, misi maupun fungsi/peran sebuah laboratorium di Perguruan Tinggi seharusnya menjadi pelengkap didalam membangun kompetensi lulusannya.  Dalam hal ini tidak terlalu jauh dari upaya menyelenggarakan kegiatan pendidikan/pengajaran, penelitian yang bereputasi nasional --- lebih tinggi lagi internasional --- serta menyediakan pelayanan yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat (dikenal sebagai Tridharma PT).  Laboratorium juga wajib memberikan kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran mahasiswa pada ranah ketrampilan-psikomotorik (learning to do) dan ranah kerjasama-kooperatif (learning to live together).
 


Pengembangan Standar Minimum Laboratorium
Program Sarjana (S1) Teknik Industri

Dewasa ini di Indonesia, Program Studi Teknik Industri di tingkat sarjana diselenggarakan pada lebih dari 120  perguruan tinggi negeri maupun swasta. Banyaknya perguruan tinggi yang menyelenggarakan Program Studi Teknik Industri di satu sisi sangat baik untuk mengisi kebutuhan pembangunan industri. Namun demikian, di sisi yang lain, timbul pula masalah pada beragamnya kualitas penyelenggaraan pendidikannya. Hal ini tentu saja membawa akibat tidak baik pada beragamnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Dengan demikian upaya untuk menjaga dan kemudian meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan melalui penetapan standar-standar proses pendidikan seperti penetapan standar minimum laboratorium merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa diabaikan.

Penyusunan standar minimum laboratorium untuk Program Studi Teknik Industri ini didasarkan pada beberapa peraturan perundangan yang berlaku seperti UU Sisdiknas No.20/2003, dan SK Mendiknas No 45/U/2002, khususnya terkait dengan kompetensi lulusan.  Banyak pengertian mengenai kompetensi ini yang diberikan.  Seperti dijelaskan secara mendasar bahwa kompetensi diformulasikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang lulusan PT sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Pengertian ini dengan jelas menyatakan bahwa kompetensi bukan hanya ketrampilan saja tetapi juga berarti pengetahuan yang mendasarinya serta sikap yang terkait dengan keprofesian atau bidang kerja, seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut ini :


       Mengadopsi criteria ABET 2000, kompetensi utama Teknik Industri dinyatakan sebagai “mampu mengidentifikasikan, memformulasikan, dan memecahkan masalah-masalah sistem integral menggunakan alat-alat pokok analitikal, komputasional, dan/atau eksperimental’. Berdasarkan pengertian Teknik Industri dan kompetensi utama ini maka dapat diperjelas bahwa kompetensi tersebut adalah kompetensi dalam merancang sistem integral (new system), memperbaiki dan meningkatkan performansi sistem integral (existing system); dan memasang serta mengoperasikan rancangan dan perbaikan sistem integral tersebut.


       Apakah sistem yang integral dan bagaimana kita bisa memberikan gambaran yang konkrit dan efektif untuk menjelaskannya? Dari berbagai pendekatan empiris dan historis ternyata sistem manufaktur adalah wahana pembelajaran yang dinilai paling efektif untuk membentuk kompetensi teknik industri. Berdasarkan acuan ini maka sistem manufaktur dilihat dari 3 (tiga) tingkatan atau level yang membentuknya. Di tingkat paling mikro, sistem manufaktur akan memiliki sistem tempat kerja atau stasiun kerja; di tingkat menengah sistem manufaktur akan memiliki sistem lantai produksi; dan di tingkat makro sistem manufaktur dapat dilihat sebagai sebuah sistem perusahaan. Konsep ini dapat disamakan dengan pengertian sistem integral yang dimaksudkan oleh Turner, et. al. (1993), yang dikatakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu Human Activity System dan Management Control System; dimana sistem pada level mikro dan menengah adalah sama dengan Human Activity System dan Sistem Perusahaan merupakan Management Control System.


       Dengan demikian bentuk sistem manufaktur ini baik dipakai sebagai model untuk mendefinisikan kompetensi  lebih rinci sehingga praktek perancangan seperti apa yang dibutuhkan untuk mendukung terbentuknya kompetensi utama dapat ditentukan. Mengingat bahwa ini merupakan kebutuhan standar minimal untuk mendukung pembentukan kompetensi utama maka setiap institusi penyelenggara Program Studi Teknik Industri dapat menambahkan praktek atau mata kuliah lain yang diperlukan untuk membentuk kompetensi pendukung dan kompetensi lain yang khas bagi Program Studi tersebut.
.
Pembentukan Kompetensi Melalui Revitalisasi
Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja
  
       Ergonomi yang awal mulanya muncul sebagai sebuah disiplin yang fokus pada studi dan perancangan kerja; belakangan  berkembang menjadi sebuah disiplin yang jauh berbeda secara signifikan dalam hal fokus maupun area luasan lingkup kajiannya.  Telah terjadi penurunan intensitas untuk melakukan studi tentang kerja khususnya yang terjadi di lantai produksi (shopfloor) atau ranah mikro; dan bergeser ke aras makro yang terkait dengan area sosial-ekonomi industri.  Kondisi tersebut melahirkan sebuah disiplin baru di ranah ilmu keteknikan --- yang kemudian dikenal dengan disiplin teknik produksi/industri --- yang tidak hanya membatasi ranah kajiannya seputar sistim manusia-mesin; tetapi juga memberikan kompetensi untuk mengorganisasikan kerja dan merancang sistem kerja industri modern (Bailey dan Barley, 2004).  Dalam perjalanan paruh abad 20, disiplin teknik industri dipahami sebagai sebuah filosofi manajemen dan pengembangan teknik-teknik kuantitatif untuk memperbaiki sistem produksi/industri dengan cara meningkatkan efisiensi kerja.

       Apa-apa yang telah dikerjakan oleh Taylor, Frank & Lillian Gilbreth, Fayol, Muntersberg, Granjean, Barnes, Mundel, Kroemer, McCormick, Sanders dan lain-lain telah menghasilkan paradigm-paradigma baru dalam berbagai penelitian kerja dengan fokus pada manusia sebagai penentu tercapainya produktivitas dan kualitas kerja (quality of work life) yang lebih baik lagi. Pendekatan ergonomi dalam perancangan teknologi di industri telah menempatkan rancangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik menjadi tampak lebih manusiawi.  Disini faktor yang terkait dengan fisik (faal/fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia baik secara individu pada saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah rancangan sistim manusia-mesin dan lingkungan kerja fisik akan dijadikan pertimbangan utama (Emerson and Nahring, 1988). 

       Demikian juga sesuai dengan ruang lingkup industri yang pendefinisiannya terus melebar-luas (dalam hal ini industri akan dilihat sebagai sebuah sistem yang komprehensif-integral); maka persoalan industri tidak lagi dibatasi oleh pemahaman tentang perancangan teknologi produk dan/atau teknologi proses (ruang lingkup mikro) saja, tetapi juga mencakup ke persoalan organisasi dan manajemen industri dalam skala sistem yang lebih luas, makro dan kompleks (lihat gambar 3).  Problem industri tidak lagi berada didalam dinding-dinding industri yang terbatas, tetapi juga  merambah menuju ranah lingkungan luarnya, sehingga memerlukan solusi-solusi yang berbasiskan pemahaman tentang konsep sistem, analisis sistem dan pendekatan sistem dalam setiap proses pengambilan keputusan.  Dari aras mikro ergonomi industri akan terkait dengan persoalan-persoalan faktor manusia sebagai individu dalam perancangan area/stasiun kerja (workplace design) dan ranah kognitif; sedangkan untuk aras makro, ergonomi industri akan berhadapan dengan berbagai ragam variasi budaya (cultural variables) yang memerlukan pendekatan-pendekatan sistemik dan holistik didalam menyelesaikan persoalan organisasi industri yang semakin kompleks (Wignjosoebroto, 2011)..

       Laboratorium Ergonomi dan Perancangan Sistem Kerja (EPSK) --- selain Laboratorium Sistem Manufaktur --- adalah merupakan laboratorium dasar yang dikenal dalam membentuk kompetensi lulusan Teknik Industri khususnya dalam ranah mikro..  Pembentukan kompetensi dipenuhi melalui berbagai program praktikum yang memberikan pengalaman praktek merancang sistem integral dengan segala aspek yang melingkupinya; misalkan proses pengukuran, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, sintesis, dan lain-lain. Sistem integral yang dimaksud didefenisikan berdasarkan tingkatan dalam suatu system.  Tingkatan sistem integral yang dimaksud meliputi (a) sistem yang mencakup aspek temu-muka (interface) antara manusia-mesin seperti rancangan produk yang ergonomis, rancangan display, dll, (b) Sistem yang menyangkut stasiun kerja, dimana manusia menggunakan peralatan pada suatu lingkungan tertentu untuk melakukan kerja tertentu. (c) sistem yang menyangkut lantai pabrik atau sistem produksi (operasi) yang terdiri dari kumpulan stasiun kerja yang membuat produk dari akhir sampai selesai, dan (d) sistem makro yang menyangkut suatu perusahaan yang terdiri dari sistem produksi dan bagian-bagian pendukung lainnya sebagai suatu kesatuan.

       Praktikum yang dilaksanakan di laboratorium membutuhkan tujuan yang jelas (learning objectives) agar dapat dijalankan secara efektif. Ruang lingkup sistem integral yang menjadi area tanggung jawab pembentukan kompetensi melalui Laboratorium EPSK meliputi dua aspek perancangan, yaitu (a) produk (man-machine aspects) ditinjau dari sisi aspek antropometri, human factors, dan perancangan produk ataupun fasilitas kerja ergonomis); dan (b) stasiun kerja yang mencakup pengukuran waktu standar, ekonomi gerakan, perancangan sistem kerja dan lingkungan fisik. Sedangkan untuk perancangan sistem produksi (menggambar teknik, proses produksi, rencana produksi), sistem perusahaan/industri (ide produk, kelayakan bisnis), komputasi & statistika industri (memperkuat pemahaman teori: tools software), serta simulasi industri merupakan ranah tanggung jawab laboratorium yang lain.

Penutup

       Banyak orang yang salah menginterpretasikan pengertian tentang industri.  Istilah “industri” dalam berbagai kasus sering dilihat dalam kaca-mata sempit sebagai “pabrik” yang banyak bergelut dengan aktivitas manufakturing. Sesuai dengan “nature”-nya,  industri bisa diklasifikasikan secara luas yaitu mulai dari industri yang menghasilkan produk-barang fisik (manufaktur) sampai ke produk-jasa (service) yang non-fisik.  Industri juga bisa kita bentangkan dalam pola aliran hulu-hilir sampai ke skala kecil-menengah-besar.  Demikian juga problematika yang dihadapi oleh industri --- yang kemudian menjadi fokus kajian/studi tentang ergonomi industri --- bisa terfokus dalam ruang lingkup mikro (lantai produksi) dan terus melebar luas mengarah ke problematika manajemen produksi (perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian dan pengendalian sistem produksi) yang harus memperhatikan sistem lingkungan (internail maupun eksternal) dalam setiap langkah pengambilan keputusan berdimensi strategik. 

       Industri seharusnya dikelola secara khusus melalui pendekatan ergonomi. Banyak masalah yang terjadi di area sistem produksi yang memerlukan aplikasi konsep dan metode ergonomi untuk penyelesaiannya seperti rendahnya kualitas maupun produktivitas kerja. Persoalan-persoalan tersebut umumnya muncul, oleh karena tidak diterapkannya pendekatan ergonomi industri pada saat perancangan stasiun kerja (workstations/places), fasilitas kerja (machine and tools), produk, proses, ataupun lingkungan kerja (work environment).  Dalam hal ini peneliti-peneliti ergonomi industri diharapkan mau dan mampu memenuhi tantangan industri dengan mempromosikan pendekatan ergonomi (ergonomics method) untuk memberikan kontibusi dan solusi konkritnya.

       Kalau awalnya profesi Teknik Industri secara tradisional mengurusi persoalan-persoalan di tingkat pengendalian operasional (manajemen produksi/operasional) seperti perancangan-perancangan tata-letak mesin, tata-cara kerja, sistem manusia-mesin (ergonomi) dan penetapan standard-standard kerja; maka dalam beberapa dekade terakhir ini disiplin Teknik Industri lebih banyak dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perencanaan strategis dan pengambilan keputusan pada tingkat manajemen puncak.  Persoalan yang dihadapi tidak lagi dibatasi dalam skala kecil (mikro) melainkan juga berkembang ke skala besar (makro).  Sebagai contoh kalau awalnya studi tentang ergonomi, tata cara dan pengukuran kerja lebih difokuskan ke skala stasiun kerja sekedar untuk mendapatkan standar-standar (waktu, output ataupun upah) kerja guna merealisasikan konsep “the fair day’s pay for the fair day’s work”; maka belakangan ini banyak diaplikasikan untuk melakukan pengukuran produktivitas dan kinerja makro organisasi-perusahaan guna menilai sehat tidak-nya kondisi industri tersebut. 

Referensi & Kepustakaan
Badan Kerja Sama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri – BKSTI (2007). Kurikulum Inti Program StudiI Teknik Industri (Tingkat Sarjana/Strata 1).

Bailey, Diane E. and Barley, Stephen R.  Return to Work: Toward Post-Industrial Engineering. IIE Transactions (2005) 37, 737-752.  ISSN: 0740-817X print/1545-8830 online.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas (2005). Standar Minimum Laboratorium Teknik Industri.

Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas (2008). Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Sarjana Teknik Industri.

Emerson, Howard P. and Douglas C.E., Naehring (1988).  Origins of Industrial Engineering:  The Early Years of a Professions.  Atlanta, Norcross-Georgia:  Industrial Engineering & Management Press, II.

Feisel, L.D. and Albert J. Rosa (2005). The Role of the Laboratory in Undergraduate Engineering Education. Journal of Engineering Education, Vol. 94, no. 1, p. 121-129.

Turner, Wayne. et.al (2003). Introduction to Industrial and System Engineering.

Wignjosoebroto, Sritomo (2011). Ergonomi Industri dalam Pendidikan Terintegrasi : Pendekatan Ergonomi Menjawab Problematika Industri. Disampaikan dalam acara Semiloka Linieritas Ergonomi 2011 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada tanggal 21 April  2011 di Denpasar - Bali.


Catatan :

1)       Tulisan dipersingkat dan disampaikan sebagai Keynote dalam acara 11th National Conference of Indonesian Ergonomics Society 2011 “Serving humanity for a Better Life”  yang diselenggarakan oleh Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia pada tanggal 15 September 2011 di gedung Pusat Studi Jepang - Universitas Indonesia, Depok.
2)       Anggota Tim Penyusun Standar Minimum Laboratorium Teknik Industri Dikti/Depdiknas, 2005; dan anggota Tim Penyusun Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Sarjana (S1) Teknik Industri Dikti/Depdiknas 2008.