Selasa, 30 Oktober 2012

Ergo-Design: Rancangan Produk untuk Manusia

Ergonomics is a discipline that seeks to maximize safety, efficiency and comfort
by shaping the design and operation of the technology to the physical and psychological capabilities and social needs of the user.

(Jan Noyes. Designing for Humans. New York: Taylor & Francis Inc., 2001)

1. Pendahuluan
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan berbagai macam produk, mesin  maupun  fasilitas  kerja  lain yang  dirancang untuk  memenuhi  kebutuhannya.  Manusia akan mengendarai mobil, menggunakan handphone, mengoperasikan mesin produksi, memanfaatkan kecanggihan mesin komputer, dan sebagainya. Untuk semua aktivitas yang harus dilakukan tersebut, manusia harus melibatkan semua panca indera yang dimiliki; menjalankan mekanisme pengambilan keputusan melalui memori otak, dan menggunakan semua kemampuan menggerakan sistem otot-otot tangan maupun kaki yang diperlukan untuk melakukan kerja. Dalam hal ini mobil akan bergerak sepanjang jalan lintasan sesuai dengan kehendak manusia yang mengemudikannya. Demikian juga mesin komputer akan melakukan analisa dan memproses data manakala ada manusia yang mengoperasikannya. Kesimpulan yang bisa ditarik, manusia merupakan komponen dan faktor yang penting serta menentukan dalam setiap sistem operasional (sistem manusia – mesin) agar mampu berfungsi  untuk meng hasilkan aktivitas kerja produktif.

Agar sistem manusia-mesin tersebut bisa berfungsi baik, maka sub-sistem (komponen-komponen) pendukungnya haruslah dirancang secara sinkron dan terintegrasi satu dengan yang lain. Hal ini tidak saja menyangkut komponen (elemen) yang berada didalam sub-sistem mesin, tetapi juga menyangkut manusia yang akan berinteraksi dengan sub-sistem mesin tersebut untuk membentuk sebuah sistem manusia-mesin (man-machine system). Oleh karena itu sangat mendasar sekali kalau seorang perancang mesin (produk) akan selalu mempertimbangkan manusia sebagai sub-sistem yang perlu diselaraskan dengan sub-sistem mesin (produk) agar bisa layak dioperasikan nantinya. Berkaitan dengan hal tersebut sudah semestinya seorang perancang mesin (produk) akan memperhatikan segala kelebihan maupun keterbatasan manusia dalam hal kepekaan inderawi (sensory), kecepatan dan ketepatan didalam proses pengambilan keputusan, kemampuan penggunaan sistem gerakan otot, dimensi ukuran tubuh (anthropometri), dan sebagainya; untuk kemudian menggunakan semua informasi mengenai faktor manusia (human factors) ini sebagai acuan didalam menghasilkan sebuah rancangan mesin atau produk yang serasi, selaras dan seimbang dengan manusia yang akan mengoperasikannya nanti.
Seorang perancang produk haruslah bisa mengintegrasikan semua aspek manusiawi  lewat karya-karya rancangannya dalam sebuah konsep yang dikenal dengan “Human Integrated Design” [1], [2]. Analisis mengenai faktor manusia dalam proses perancangan produk meliputi evaluasi yang berkaitan dengan karakteristik data fisiologik dan psikologik manusia yang nantinya akan menjadi komponen utamanya. Dengan memasukkan unsur-unsur yang berkaitan tentang faktor manusia tersebut   --- baik kelebihan, keterbatasan, maupun kekurangannya --- pada saat proses perancangan berlangsung; hasil yang diperoleh nantinya akan berupa “resultant design” dari sebuah sistem manusia-mesin [3]. Optimalisasi rancangan produk akan bisa diperoleh, karena disini variabel-variabel operasional dan interaksi faktor manusia dengan sistem mesin yang akan dioperasikannya sudah terintegrasi dalam teknologi produk --- bisa berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) --- yang dirancang.
 
2. Human Centered/Integrated Design
Secara umum aplikasi konsep Human Centered/Integrated Design (HC/ID) dapat dijelaskan berdasarkan dua prinsip yaitu : pertama, seorang perancang produk harus menyadari benar bahwa faktor manusia akan menjadi kunci penentu sukses didalam operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli apakah sistem tersebut bersifat manual, mekanis (semi-automatics) ataukah otomatis penuh. HC/ID akan menempatkan semua unsur/parameter design menyesuaikan dengan karakteristik --- kelebihan maupun kekurangan --- manusia (fitting the task/ design to the man). Kedua , seorang perancang produk harus juga menyadari bahwa setiap produk akan memerlukan informasi-informasi detail dari semua faktor yang terkait dalam setiap proses perancangan.
 
Seorang perancang produk harus mengetahui sistem operasional seperti apa yang dapat dikerjakan lebih baik oleh manusia (didasarkan oleh faktor kelebihan yang dimiliki manusia dibandingkan dengan mesin/alat); dan disisi lain dengan menyadari segala kekurangan serta kelemahan manusia, maka keterbatasan-keterbatasan ini kemudian bisa dialokasikan untuk kemudian dikerjakan oleh sub-sistem mesin (produk) yang dirancang. Data yang berkaitan dengan kelebihan, kekurangan maupun keterbatasan --- baik yang bersifat fisiologik maupun psikologik --- bisa dikembangkan melalui riset ergonomis yang merujuk manusia sebagai obyek dan sekaligus subyek pengamatan.
 
Rancangan memenuhi kriteria “baik” sejauh rancangan tersebut mampu memenuhi tolok ukur efektif, efisien, nyaman, aman, dan sehat dan Efisien. Problem utama adalah bagaimana cara pengukurannya. Esensi dasar dari evaluasi ergonomis dalam proses perancangan produk adalah sedini mungkin mencoba memikirkan kepentingan manusia agar bisa terakomodasikan dalam setiap kreativitas dan inovasi sebuah“man-made object”. Pendekatan yang terfokus melalui pertim-bangan faktor manusia merujuk ke konsep perancangan yang utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan manusia.  Noyes, 2001 [4] menjelaskan mengenai pende-katan ini sebagai User Centered Design (USD), yaitu sebagai berikut: “…  is embedded in the concept of usability. The usability of product is the degree to which specifics users can achieve specific goals within a particular environment; effectively, efficiently, comfort-ably, and in an acceptable manner. Some term mentioned as user friendliness”. Secara sederhana HID -- atau “user centered design” (UCD) -- ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia, mengatasi segala keterbatasan yang ada, dan memenuhi komponen spesifik/unik yang bersifat kualitatif-emosional, subyektif, afektif, maupun estetika yang ada dalam diri manusia. 


Fokus perhatian dari sebuah kajian ergonomis akan mengarah ke upaya pencapaian sebuah rancangan produk yang memenuhi persyaratan “fitting the task to the man”  [5]. Hal ini berarti setiap rancangan produk (sistem manusia-mesin)  yang akan dibuat haruslah selalu dipikirkan untuk kepentingan  --- dalam arti keselamatan, keamanan, maupun kenyamanan ---  manusia. Sebuah kajian ergonomis jelas akan merujuk pada kepentingan manusia,, dan tidak semata-mata mengarah pada aspek teknis-fungsional dari produk, mesin ataupun fasilitas kerja yang dirancang. Bilamana tidak ada unsur manusia yang terlibat dalam  interaksi sistem manusia-mesin --- seperti halnya dalam sistem mesin yang bekerja secara otomatis penuh (full-automatics) --- maka secara tegas dapat disimpulkan kajian ergonomis tidak lagi terlalu signifikan untuk dilakukan. Perancangan sebuah produk dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek keunggulan teknologi memang juga penting, terutama untuk meningkatkan kemampuan teknis-fungsional dari produk tersebut. Akan tetapi performans produk baru akan bisa maksimal dicapai bilamana terjadi “synergy process” pada saat terjadi interaksi timbal-balik yang serasi dan selaras dengan manusia-operator yang akan melayani, mengoperasikan, dan mengendalikannya.

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar perancangan produk seperti yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa akan lebih mudah untuk memodifikasi karakteristik rancangan produk yang disesuaikan dengan kelebihan, keterbatasan maupun kekurangan manusia-operatornya (fitting the task to the man); dibandingkan dengan keharusan kita untuk melakukan modifikasi --- melalui proses seleksi maupun pelatihan (training) --- kemampuan operator guna diakomodasikan dengan karakteristik rancangan produk yang terlanjur dirancang dan harus dioperasikan apa adanya (fitting the man to the task).
3.  Ergonomi, Human Factors dan Perancangan Produk                                                
Kata ergonomics atau human factors  berasal dari kata “ergo” (work) dan “nomics/nomos” (study of) yang bisa diartikan sebagai “the custom, habits or laws of work” dan merujuk pada pendekatan untuk menyelesaikan problem-problem kerja yang dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Chapanis, 1999 [6] mendefinisikan human factors (ergonomics) sebagai “a body of knowledge about human abilities, human limitations, and other human characteristics that are relevant to design”; sedangkan pengertian untuk human factors engineering (the practice of ergonomics) dinyatakannya sebagai “the application of human factors (ergonomic) information to the design of tools, machines, systems, tasks, jobs, and environments for safe, comfortable and effective human use”. Di masa lalu, istilah ergonomics biasanya sering dikaitkan dengan perancangan produk-produk sederhana seperti knobs, dials, atau furniture (chair); dan juga aktivitas fisik (physical work) dari kerja manusia [5]. Sedangkan human factors lebih umum dihubungkan dengan aspek psikologi kerja (mental workloads dan cognitive issues) dan segala macam aspek yang mengkaitkan manusia dalam aktivitas kerjanya  [7].  Belakangan batasan-batasan dari kedua istilah tersebut tampaknya menjadi kabur dan tidak lagi dibedakan/dipertentangkan. 
Keduanya merepresentasikan aktivitas studi tentang kerja dan interaksi antara manusia dengan system lingkungan fisik kerjanya.  Tujuan utamanya adalah memperoleh kesesuaian antara kebutuhan dengan rancangan, pengembangan, implementasi dan evaluasi system manusia-mesin serta lingkungan fisiknya agar lebih produktif, nyaman, aman dan memuaskan penggunanya.  Komponen-komponen mendasar dalam dalam perancangan dengan pendekatan ergonomi (human factors) meliputi psychology (cognitive, social, dan occupational psychology), anatomi (anthropometry dan biomechanics), dan physiology (exercise and work physiology). IEA (International Ergonomics Association) mendefinisikan ergonomi sebagai ilmu yang mengaplikasikan pengetahuan mengenai kemampuan fisik maupun mental manusia untuk merancang produk, proses, stasiun/tempat kerja (workplaces) dan interaksi manusia-mesin (juga lingkungan fisik kerja) yang kompleks
Ergonomi secara nyata memberi dampak terhadap kehidupan manusia sehari-hari; mulai dari rumah dimana mereka bertempat tinggal dan khususnya sampai ke tempat kerja di industri, perkantoran, dan lain-lain.  Pendekatan dan evaluasi ergonomi banyak diaplikasikan dalam banyak hal. Mulai dari perancangan produk, fasilitas kerja, tempat kerja (work stations/places) dan juga lingkungan kerja (working environment) dengan sasaran untuk menambah efektivitas, efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.  Lebih penting lagi pendekatan ergonomi dalam perancangan juga diaplikasikan untuk memperbaiki faktor kenyamanan, keselamatan dan kesehatan (comfort, safety and health) di ranah area/ lingkungan kerja diselenggarakan.  .
Aplikasi ergonomi dalam perancangan telah banyak ditunjukkan dengan berbagai bukti nyata di masa lampau seperti halnya saat manusia melakukan perancangan produk, alat kerja maupun sistem kerja. Hutchingson, 1981 [8] dalam hal ini secara tegas menyatakan bahwa manusia-manusia ”pra-sejarah” yang menggunakan alat/perkakas (tools) --- baik untuk melindungi maupun membantu melaksanakan kerja tertentu --- merupakan peletak dasar pemikiran dan penerapan ergonomi dalam proses perancangan produk/peralatan kerja.  Selanjutnya juga banyak dilakukan studi-studi mengenai peralatan kerja yang harus dioperasikan dengan menggunakan tenaga fisik manusia terutama di sektor pertanian (people-powered farming tools) seperti bajak, pacul, sabit, dan lain-lain telah pula melahirkan banyak perubahan maupun modi-fikasi rancangan dengan lebih memperhatikan faktor manusia. 
Rekayasa manusia (human engineering) yang dilakukan terhadap rancangan produk maupun sistem kerja diharapkan `kan mampu akan mampu memperbaiki kinerja produk maupun fasilitas kerja seperti mengurangi waktu interaksi (interaction time), menekan tingkat kesalahan dalam pengoperasian (human errors), memperbaiki tingkat kepuasan penfguna (user satisfaction), mempermudah pemakaiannya (device usability), meningkatkan “functional effectiveness”, dan produktivitas dengan memperhatikan karakteristik manusia dalam rancangan tersebut [10]. Modifikasi terhadap rancangan yang berdasarkan pertimbangan ergonomi kemudian direalisasikan dengan langkah pembuatan prototipe.  Selanjutnya dilakukan langkah pengujian terhadap prototipe tersebut untuk melihat seberapa jauh dan  signifikan kinerja rancangan produk/silitas kerja yang baru  tersebut mampu memenuhi tolok ukur kelayakan ergonomis seperti aplikasi data antropometri yang sesuai, waktu/output standard, penggunaan enersi kerja fisik dan jeluhan subyektif. 

4. Ergonomics : Designing for Humans
Desain, adalah tindakan manusia untuk menghasilkan sebuah langkah konkrit, teknis dan ditujukan untuk memberikan solusi optimal, obyektif, inovatif dan kreatif terhadap berbagai permasalahan kebutuhan manusia.  Melalui serangkaian proses perancangan, diawali dengan meliputi identifikasi dan pernyataan masalah, penguraian masalah secara kritis (analisa), kesimpulan pemecahan masalah (sintesa) dan pengkajian hasil (evaluasi) baik dari sisi kelayakan teknis-fungsional, ergonomis asesmen, dan berakhir dengan pengkajian dari sisi kelayakan pasar. 
Where Does Design Come From? Sebuah pertanyaan yang acapkali muncul pada saat kita berharap agar rancangan yang kita buat tidak hanya berhenti dalam tataran ide ataupun konsep semata.  Manusia siapa (designer or customer) yang akan kita jadikan target sasaran kepentingan rancangan tersebut akan dibuat?  Rancangan bisa bersumber dari berbagai penemuan (invention) berbagai ide baru sebagai bentuk kreatifitas manusia perancang.  Namun untuk berbagai tipikal rancangan --- khususnya produk industri --- ide maupun konsep seringkali justru datangnya dari customer/user atau sumber eksternal dalam bentuk inovasi maupun saran perbaikan lainnya (innovation/improvement).
Proses perancangan produk memerlukan pendekatan dari berbagai macam disiplin. Ilmu-ilmu keteknikan dan rekayasa (engineering) akan diperlukan dalam perancangan sebuah produk terutama berkaitan dengan aspek mekanikal dan elektrikal-nya; sedangkan psikologi dianggap penting untuk menelaah perilaku dan hal-hal yang dipikirkan oleh manusia yang akan menggunakan rancangan produk tersebut. Selanjutnya studi tentang ergonomi (human factors) akan mencoba mengkaitkan rancangan produk untuk bisa diselaras-serasikan dengan manusia penggunanya; didasarkan pada kapasitas maupun keterbatasan dari sudut tinjauan kemampuan fisiologik maupun psikologik-nya dengan tujuan untuk meningkatkan perfomans kerja dari sistem manusia-produk [11]. Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik kerjanya juga merupakan fokus studi ergonomi. Lingkungan fisik kerja yang dimaksudkan dalam hal ini meliputi setiap faktor (kondisi suhu udara, pencahayaan, kebisingan dan sebagainya) yang bisa memberikan pengaruh signifikan terhadap efisiensi, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, maupun ketenangan orang bekerja sehingga menghindarkan diri dari segala macam bentuk kesalahan manusiawi (human errors) yang berakibat kecelakaan kerja [12]. Hal yang senada oleh Sanders dan McCormick , 1992 [13] dikatakannya dengan “it is easier to bend metal than twist arms” yang bisa diartikan merancang produk ataupun alat untuk mencegah terjadinya kesalahan (human error) akan jauh lebih mudah bila dibandingkan mengharapkan orang (operator) jangan sampai melakukan kesalahan pada saat mengoperasikan produk (mesin) atau alat kerja.
Tergantung maksud dan tujuannya, sebuah rancangan produk sebelum diproduksi dan diluncurkan agar bisa dikonsumsi oleh pasar perlu terlebih dahulu dilakukan berbagai macam kajian, evaluasi serta pengujian (test). Proses kajian, evaluasi ataupun pengujian ini meliputi banyak aspek baik yang menyangkut aspek teknis-fungsional maupun kelayakan ekonomis (pasar) seperti analisa nilai (value analysis/engineering), reliabilitas (keandalan), analisa/ evaluasi ergonomis, market analysis & test, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan kelayakan ergonomis dari sebuah rancangan produk, maka seperti telah diuraikan panjang lebar sebelumnya, yang dimaksudkan dengan evaluasi ergonomis disini menurut Holt, 1983 [14] adalah “ a method for systematic study of the physiological and psychological requirements for a product and its manufacturing processes from a human point of view”. Untuk melaksanakan kajian dan evaluasi bahwa sebuah (rancangan) produk telah memenuhi persyaratan ergonomis bisa dilihat dari variabel-variabel data yang berkaitan dengan karakteristik manusia pengguna produk tersebut apakah sudah dimasukkan sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal ini ada beberapa aturan dasar perancangan dengan mengaplikasikan pendekatan dan pertimbangan ergonomis seperti berikut [15], [16], [17] :
(a) Pahami terlebih dahulu bahwa manusia merupakan fokus utama dari perancangan produk. Hal-hal yang berhubungan dengan struktur anatomi (fisiologik) tubuh manusia harus diperhatikan, demikian juga dengan dimensi ukuran tubuh (anthropometri) harus dikumpulkan dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan bentuk maupun ukuran geometris dari produk ataupun fasilitas kerja yang dirancang. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk tubuh, dimensi ukuran (anthropometri) dan/atau karakter fisik yang berbeda-beda. Berangkat dari realitas ini, maka evaluasi ergonomis yang mendasari dalam penentuan geometris ukuran produk yang akan dirancang sedapat mungkin mampu memberikan kelonggaran (fleksibilitas) untuk digunakan ataupun dioperasikan oleh mayoritas populasi yang secara leluasa bebas mengatur dan beradaptasi dengan ukuran anggota tubuh masing-masing.
(b) Gunakan prinsip-prinsip “kinesiology” (study mengenai gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek ilmu fisika atau kadang dikenali dengan istilah lain “biomechanics”) dalam rancangan produk yang dibuat untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan-gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan, kaku (patah-patah), dan tidak memenuhi persyaratan efektivitas-efisiensi gerakan.
(c) Masukan kedalam pertimbangan mengenai segala kelebihan maupun kekurangan (keterbatasan) yang berkaitan dengan kemampuan fisik yang dimiliki oleh manusia didalam memberikan respons sebagai kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan pengaruhnya dalam proses perancangan produk. Manusia pada dasarnya memiliki perbedaan kemampuan (kelebihan, kekurangan maupun keterbatasan) dalam hal kecepatan bereaksi, kekuatan fisik, kepekaan inderawi, dan sebagainya. Dengan demikian akan bisa dikembangkan rancangan produk (sistem manusia-mesin) yang memberikan alternatif pilihan apakah akan lebih mengandalkan pada kelebihan-kelebihan masing-masing sub-sistem (manusia atau mesin) yang ada.
(d)  Manusia memiliki memiliki perbedaan dalam kemampuan mental dan kognitifnya untuk menyimpan dan mengolah informasi yang diterima untuk kemudian mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Laju kecepatan sub-sistem manusia didalam menyerap informasi, kemampuan memahami dan menyimpan informasi tersebut dalam memori ingatan yang dimiliki, serta kemampuan untuk menjaga atau mempertahankan semua informasi yang dikuasainya tersebut akan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
(e)  Manusia pada prinsipnya “goal oriented” bila menggunakan produk ataupun mengoperasikan mesin/fasilitas kerja lainnya. Kemungkinan untuk melakukan tindakan kesalahan (human error) sangat mungkin terjadi manakala ada ketidak-serasian dan ketidak-selarasan didalam perancangan sistem manusia-mesin tersebut. Walaupun demikian manusia akan mau menerima kesalahan tersebut sebagai pengalaman dan mencoba memperbaiki kinerja sistem dengan mensinergikan kembali performans masing-masing sub-sistem (manusia dan/atau mesin).
 
(f) Aplikasikan semua pemahaman yang terkait dengan aspek psikologik manusia sebagai prinsip-prinsip yang mampu memperbaiki motivasi, attitude, moral, kepuasan dan etos kerja. Manusia akan berbeda persepsinya didalam mendefinisikan kondisi dan suasana nyaman menurut persepsi masing-masing. Kenyataan seperti ini akan memotivasi orang untuk memberikan kemampuan penyesuaian (adjustability) terhadap rancangan produk maupun lingkungan fisik kerja agar mampu mengakomodasikan perbedaan-perbedaan tersebut.
 
Pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan produk yang paling tampak nyata aplikasinya adalah melalui pemanfaatan data anthropometri (ukuran tubuh) guna menetapkan dimensi ukuran geometris dari produk dan juga bentuk-bentuk tertentu dari produk yang disesuaikan dengan ukuran maupun bentuk (feature/posture) tubuh manusia pemakainya.  Dalam berbagai kasus, para peneliti ergonomi industri bisa menjumpai banyaknya produk dan/atau mesin/peralatan kerja yang digunakan di industri yang tidak tepat/layak dioperasikan karena persoalan ketidaksesuaian dimensi antropometri.  Perbedaan ukuran anggota tubuh (antropometri) yang dipakai dalam menentukan dimensi-dimensi perancangan (industrial machinery, equipment, tools, dll) akan memberikan konsekuensi-konsekuensi ergonomi (ergonomic consequences) yang mengakibatkan rendahnya produktivitas, kualitas, K3 dan/atau persoalan serius lainnya.  Oleh karena itu diperlukan evaluasi dan intervensi ergonomi untuk merancang ulang (redesigned) ataupun modifikasi untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja manusia. 
Dalam proses perancangan produk, kepuasan manusia --- khususnya pengguna (user/ costumer) --- akan menjadi tolok ukur utama; sehingga berbagai aspek yang melingkupi diri manusia sebagai individu dalam hubungannya dengan manusia lain atau dengan lingkungan fisik keberadaannya, menjadi pertimbangan penting.  Noyes , 2000 [4]  menyimpulkan bahwa maksud perancangan dengan tujuan untuk kepentingan manusia adalah “to create and provide things and environments  for people’s needs, to increase and to consider all aspects of their well-being. This includes the basic nature, sexual, physiological, and psychological characteristics, physical size, motions, and actions that are integral part or personal and environmental comfort”. Dengan memasukan faktor manusia dalam perancangan, maka rancangan akan menghasilkan produk yang memenuhi kriteria ergonomis. Rancangan produk yang tidak hanya bisa memberikan kinerja (performance) fungsional yang efektif, aman (safety/health), nyaman (comfort), serta mampu dan mudah dioperasikan dengan efisien (ease of use). 

5. Penutup
Perancangan suatu produk akan menekankan pada dua aspek utama, yaitu pertama aspek teknis/kuantitatif (engineering design), seperti fungsi, kekuatan, efisiensi, kelayakan, model-model matematis, penggunaan teknologi; dan kedua menekankan aspek non-teknis/kualitatif (afektif) yang lebih menyangkut rasa dan emosional manusia, seperti pencitraan, simbolisme, style/langgam, estetika, artistika , psikologis, kultural, dan sebagainya.  Rancangan produk yang lebih menekankan pada aspek kualitatif emosional manusia, namun tetap dalam batasan fungsional dan teknis yang disaratkan, feasible untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya lazim disebut design (tanpa kata engineering), seperti halnya, arsitektur, desain interior, desain produk industri (industrial design) [19]. Agar sebuah rancangan bisa memenuhi kebutuhan dan memuaskan manusia penggunanya; maka diperlukan semua atribut informasi yang terkait dengan keinginan mereka.  Seorang perancang harus bisa menangkap, menginterpretasi dan mempersepsikan secara tepat semua keinginan pengguna (the voice of customers), dan selanjutnya menterjemahkannya dalam bentuk technical parameters dan target values dalam sebuah rancangan seperti yang kita kenali dalam langkah-langkah implentasi dari Metode Quality Function Deployment (QFD Method).  
Untuk mengumpulkan data empiris  dan menggali lebih dalam seperti apa sebenarnya perilaku serta sisi emosi konsumen/kostumer saat menggunakan produk; selain juga bagaimana pengalaman mereka selama itu berinteraksi dengan produk atau jasa dilakukan riset ethnografi. Sebuah riset yang akan bisa melihat banyak hal dari perspektif konsumen, bukan dari perspektif produsen ataupun perancang itu sendiri. Metode ethnografi telah lama digunakan dalam berbagai penelitian kualitatif  untuk mengeksplorasi ide kreatif dan inovatif di bidang perancangan dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen. Selain ethnografi, Nagamachi, 2009 [21], [22]  juga memperkenalkan metoda Kansei untuk menterjemahkan consumer’s psycho-logical  feeling tentang produk ke dalam elemen-elemen persepsi yang tepat. Kansei,  dalam bahasa Jepang, diartikan sebagai “psychological feeling or image of a product” merupakan metode untuk menjembatani rancangan industry (industrial design) yang dibuat oleh seorang perancang produk dengan bagian engineering, manufacturing dan marketing.
 

References

[1].
Pulat, B. Mustafa.  Fundamentals of Industrial Ergonomics.  Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1992.
[2].
Gupta, Vijay and Murthy, PN. An Introduction to Engineering Method. New Delhi; Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, 1980
[3].
Wignjosoebroto, Sritomo . The Develop-ment of Ergonomics Method: Pendekatan Ergonomi Menjawab Problematika Industri. Keynote Seminar Nasional Seminar Nasional Ergonomi 2006 yang diselenggarakan pada tanggal 21-22 Nopember  2006 di Auditorium Gedung D, Kampus A – Universitas Trisakti Jakarta.
[4].
Noyes, Jan.  Designing for  Humans.  New  York: Taylor & Francis Inc., 2001..
[5].
Granjean, Etienne. Fitting the Task to the Man: An Ergonomic Approach. London: Taylor & Francis Limited, 1982.
[6].
Chapanis, A. The Bhapanis Chronicles: 50 Years of Human Factors Research, Education, and Design. Santa Barbara, CA: Aegean Publishing Company, 1999.
[7].
Hawkins, F.H.  Human  Factors in Flight. 2nd edn. Aldershot, UK: Ashgate, 1993. .
[8].
Huchingson, Dale R. New Horizons for Human Factors in Design. New York: McGraw- Hill Book Company, 1982.
[9].
Ray, Gaur G. Ergo-Design, an Integrated User Centered Approach to be adopted in India for Better Tool Development.  Paper presented in IEA - 17th World Congress on Ergonomics in Beijing, July 2009.
[10].
Stanton, Neville A and Young, Mark S. A Guide to Methodology in Ergonomics.  New York : Taylor and Francis, 1999.
[11].
Stanton, Neville. Human Factors in Consumer Products. London: Taylor & Francis Ltd., 1998.
[12].
Hawkes, Barry and Abinnet, Ray. The Engineering Design Processes. Eidenburgh Gate, Harlow : Addison Wesley Longman, 1997.
[13].
Sanders, Mark S. and Ernest McCormick. Human Factors in Engineering and Design. New York : McGraw Hill Publishing Company Ltd,  1992.
[14].
Holt, Knut. Product Innovation Management. London: Butterworths, 1983.
[15].
Khalil, T.M. Design Tools and Machines to fit the Man. Industrial Engineering : Institute of Industrial Engineers, 1972.
[16].
Duncan, Jerry R.; Pulat, Babur Mustafa, et.al.. Industrial Ergonomics: Case Studies (Human Factors in Product Design). Norcross, Georgia: Industrial Engineering and Management Press – Institute of Industrial Engineers, 1991.
[17].
Wignjosoebroto, Sritomo. Ergo-Design : Rancangan Untuk Manusia. Makalah disampaikan dalam acara Seminar dan Diskusi “Ergonomi & Kenyamanan Produk Desain” yang diselenggarakan oleh Kelompok Keahlian Manusia dan Ruang Interior (KK MRI) – FSRD ITB pada tanggal 6 Juni 2011 di Auditorium Timur – Campus Centre ITB, Jalan Ganesa 10 Bandung
[18].
Wignjosoebroto, Sritomo, Arief Rahman, Elfino Jovianto.  Kajian Ergonomi dalam Perancangan Alat Bantu Proses Penyetelan dan Pengelasan Produk Tangki Travo.  Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Produksi di Hotel Sheratton – Surabaya pada bulan Agustus, 2005.
[19].
Helander, Martin G, and Khalid Halimahtun. Citarasa Engineering for Identifying and Evaluating Affective Product Design. Paper presented in IEA - 17th World Congress on Ergonomics in Beijing, July 2009.
[20].
Nagamachi, Mitsuo et.al. Kansei Engineering and Its Application to Developing New Preventing Bedsore Mattress. Paper presented in IEA - 17th World Congress on Ergonomics in Beijing, July 2009.
[21].
Nagamachi, Mitsuo et.al. Kansei Ergonomic Product Development of Washer-Dryer and Electric Shaver. Paper presented in IEA - 17th World Congress on Ergonomics in Beijing, July 2009.
 




 
 

Jumat, 16 September 2011

Revitalisasi Fungsi & Peran Laboratorium Ergonomi


The function of the engineering profession is to manipulate materials, energy, and information, thereby creating benefit for humankind.  To do this successfully, engineers must have a knowledge of nature   that goes beyond mere theory or knowledge that is traditionally gained in education laboratories.

(Lyle D. Feisel and Albert J. Rosa, Journal of Engineering Education, Jan 2005)


Pendahuluan
       Laboratorium merupakan ruangan baik tertutup maupun terbuka yang dirancang sesuai dengan kebutuhan untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan yang saling terintegrasi serta ditunjang oleh adanya suatu infrastruktur yang dibutuhkan demi terwujudnya hasil optimal. Laboratorium di perguruan tinggi adalah tempat berlangsungnya kegiatan praktikum dan penelitian yang mendukung pembelajaran dan pengembangan keilmuan. Laboratorium di tingkat perguruan tinggi merupakan laboratorium pendidikan dan pengajaran difokuskan pada pembelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa S-0, S-1, S-2 dan S-3.
       Program pendidikan engineering tanpa praktikum akan menjadi program pendidikan applied mathematics. Tujuan dari pendidikan engineering adalah memberikan pengalaman praktek engineering, dan laboratorium merupakan  salah satu tempat untuk mendapatkannya. Dengan demikian dalam laboratorium mahasiswa dapat mempraktekkan metode-metode engineering yang merupakan jantung dari program pendidikan engineering. Laboratorium dan aktivitas/tugas perancangan (design) merupakan inti dari proses pendidikan di fakultas/jurusan teknik (engineering education). Praktek engineering yang pokok adalah kegiatan perancangan (design). Kegiatan ini menjadi pembeda utama profesi engineering dengan profesi yang lain.
 
       Jadi, kata kunci dalam pembelajaran melalui praktikum ini adalah pemberian pengalaman dalam melakukan praktek perancangan dan berbagai aspek pendukungnya seperti pengukuran, pemakaian alat uji, pengolahan dan analisis data, pemakaian perangkat lunak,  perancangan dan pelaksanaan eksperimen, pembuatan model, pengujian,  dan lain-lain.  Di Perguruan Tinggi laboratorium memiliki peran strategis untuk menjalankan Tridarma PT.  Laboratorium adalah suatu tempat untuk melakukan percobaan, pengukuran, atau penyelidikan yang berhubungan dengan suatu ilmu tertentu. Laboratorium dimaksudkan untuk menunjang program studi agar lulusannya mempunyai kompetensi sesuai dengan yang dirancang.

Fungsi dan Peran Laboratorium


       Laboratorium pendidikan yang selanjutnya disebut laboratorium adalah unit penunjang akademik pada lembaga pendidikan, berupa ruangan tertutup atau terbuka, bersifat permanen atau bergerak, dikelola secara sistematis untuk kegiatan pengujian, kalibrasi, dan/atau produksi dalam skala terbatas, dengan menggunakan peralatan dan bahan berdasarkan metode keilmuan tertentu, dalam rangka pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan/atau pengabdian kepada masyarakat. Laboratorium (disingkat lab) adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah dilakukan. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali. Laboratorium ilmiah biasanya dibedakan menurut disiplin ilmunya, misalnya laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biokimia, laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa. (Wikipedia)



       Struktur praktikum bergantung pada tujuan dari praktikum itu sendiri. Dalam hal ini dapat berupa praktikum yang sangat terstruktur (cookbook approach); diberikan petunjuk sebagian; dan dapat berupa praktikum tidak terstruktur. Praktikum terstruktur cocok untuk (a) mem -belajarkan skil psychomotor (b) meningkatkan kemampuan menggunakan alat, dan (c) mem-perkuat pemahaman teori. Praktikum tidak terstruktur memberikan persoalan yang bersifat terbuka dan mahasiswa harus mencari cara sendiri untuk menyelesaikannya. Sangat cocok diberikan pada mahasiswa tingkat akhir yang telah mempunyai banyak pengetahuan dan ketrampilan. Pengalaman belajar yang diberikan adalah melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Praktikum dapat dilakukan tersendiri atau merupakan bagian dari matakuliah.



       Tujuan pendidikan engineering adalah memberikan pengalaman praktek engineering sehingga laboratorium merupakan bagian yang sangat esensial dari pendidikan engineering. Dalam pendidikan engineering, dikenal 3 (tiga) macam laboratorium; yaitu (a) laboratorium pengembangan (development lab.), (b) laboratorium penelitian (research lab.); dan (c) labora-torium pendidikan (educational lab.). Laboratorium pengembangan, laboratorium ini diperlukan mahasiswa untuk mendapatkan data melalui eksperimen yang diperlukan untuk perancangan atau pengembangan produk.  Laboratorium penelitian, diperlukan mahasiswa untuk menguji hasil rancangan, dan untuk meneliti sesuatu sehingga memperkaya knowledge yang ada; kebutuhan jangka panjang. Sedangkan laboratorium pendidikan, diperlukan untuk mahasiswa mempelajari sesuatu yang diperlukan dalam praktek engineering.



       Visi, misi maupun fungsi/peran sebuah laboratorium di Perguruan Tinggi seharusnya menjadi pelengkap didalam membangun kompetensi lulusannya.  Dalam hal ini tidak terlalu jauh dari upaya menyelenggarakan kegiatan pendidikan/pengajaran, penelitian yang bereputasi nasional --- lebih tinggi lagi internasional --- serta menyediakan pelayanan yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat (dikenal sebagai Tridharma PT).  Laboratorium juga wajib memberikan kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran mahasiswa pada ranah ketrampilan-psikomotorik (learning to do) dan ranah kerjasama-kooperatif (learning to live together).
 


Pengembangan Standar Minimum Laboratorium
Program Sarjana (S1) Teknik Industri

Dewasa ini di Indonesia, Program Studi Teknik Industri di tingkat sarjana diselenggarakan pada lebih dari 120  perguruan tinggi negeri maupun swasta. Banyaknya perguruan tinggi yang menyelenggarakan Program Studi Teknik Industri di satu sisi sangat baik untuk mengisi kebutuhan pembangunan industri. Namun demikian, di sisi yang lain, timbul pula masalah pada beragamnya kualitas penyelenggaraan pendidikannya. Hal ini tentu saja membawa akibat tidak baik pada beragamnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Dengan demikian upaya untuk menjaga dan kemudian meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan melalui penetapan standar-standar proses pendidikan seperti penetapan standar minimum laboratorium merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa diabaikan.

Penyusunan standar minimum laboratorium untuk Program Studi Teknik Industri ini didasarkan pada beberapa peraturan perundangan yang berlaku seperti UU Sisdiknas No.20/2003, dan SK Mendiknas No 45/U/2002, khususnya terkait dengan kompetensi lulusan.  Banyak pengertian mengenai kompetensi ini yang diberikan.  Seperti dijelaskan secara mendasar bahwa kompetensi diformulasikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang lulusan PT sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Pengertian ini dengan jelas menyatakan bahwa kompetensi bukan hanya ketrampilan saja tetapi juga berarti pengetahuan yang mendasarinya serta sikap yang terkait dengan keprofesian atau bidang kerja, seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut ini :


       Mengadopsi criteria ABET 2000, kompetensi utama Teknik Industri dinyatakan sebagai “mampu mengidentifikasikan, memformulasikan, dan memecahkan masalah-masalah sistem integral menggunakan alat-alat pokok analitikal, komputasional, dan/atau eksperimental’. Berdasarkan pengertian Teknik Industri dan kompetensi utama ini maka dapat diperjelas bahwa kompetensi tersebut adalah kompetensi dalam merancang sistem integral (new system), memperbaiki dan meningkatkan performansi sistem integral (existing system); dan memasang serta mengoperasikan rancangan dan perbaikan sistem integral tersebut.


       Apakah sistem yang integral dan bagaimana kita bisa memberikan gambaran yang konkrit dan efektif untuk menjelaskannya? Dari berbagai pendekatan empiris dan historis ternyata sistem manufaktur adalah wahana pembelajaran yang dinilai paling efektif untuk membentuk kompetensi teknik industri. Berdasarkan acuan ini maka sistem manufaktur dilihat dari 3 (tiga) tingkatan atau level yang membentuknya. Di tingkat paling mikro, sistem manufaktur akan memiliki sistem tempat kerja atau stasiun kerja; di tingkat menengah sistem manufaktur akan memiliki sistem lantai produksi; dan di tingkat makro sistem manufaktur dapat dilihat sebagai sebuah sistem perusahaan. Konsep ini dapat disamakan dengan pengertian sistem integral yang dimaksudkan oleh Turner, et. al. (1993), yang dikatakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu Human Activity System dan Management Control System; dimana sistem pada level mikro dan menengah adalah sama dengan Human Activity System dan Sistem Perusahaan merupakan Management Control System.


       Dengan demikian bentuk sistem manufaktur ini baik dipakai sebagai model untuk mendefinisikan kompetensi  lebih rinci sehingga praktek perancangan seperti apa yang dibutuhkan untuk mendukung terbentuknya kompetensi utama dapat ditentukan. Mengingat bahwa ini merupakan kebutuhan standar minimal untuk mendukung pembentukan kompetensi utama maka setiap institusi penyelenggara Program Studi Teknik Industri dapat menambahkan praktek atau mata kuliah lain yang diperlukan untuk membentuk kompetensi pendukung dan kompetensi lain yang khas bagi Program Studi tersebut.
.
Pembentukan Kompetensi Melalui Revitalisasi
Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja
  
       Ergonomi yang awal mulanya muncul sebagai sebuah disiplin yang fokus pada studi dan perancangan kerja; belakangan  berkembang menjadi sebuah disiplin yang jauh berbeda secara signifikan dalam hal fokus maupun area luasan lingkup kajiannya.  Telah terjadi penurunan intensitas untuk melakukan studi tentang kerja khususnya yang terjadi di lantai produksi (shopfloor) atau ranah mikro; dan bergeser ke aras makro yang terkait dengan area sosial-ekonomi industri.  Kondisi tersebut melahirkan sebuah disiplin baru di ranah ilmu keteknikan --- yang kemudian dikenal dengan disiplin teknik produksi/industri --- yang tidak hanya membatasi ranah kajiannya seputar sistim manusia-mesin; tetapi juga memberikan kompetensi untuk mengorganisasikan kerja dan merancang sistem kerja industri modern (Bailey dan Barley, 2004).  Dalam perjalanan paruh abad 20, disiplin teknik industri dipahami sebagai sebuah filosofi manajemen dan pengembangan teknik-teknik kuantitatif untuk memperbaiki sistem produksi/industri dengan cara meningkatkan efisiensi kerja.

       Apa-apa yang telah dikerjakan oleh Taylor, Frank & Lillian Gilbreth, Fayol, Muntersberg, Granjean, Barnes, Mundel, Kroemer, McCormick, Sanders dan lain-lain telah menghasilkan paradigm-paradigma baru dalam berbagai penelitian kerja dengan fokus pada manusia sebagai penentu tercapainya produktivitas dan kualitas kerja (quality of work life) yang lebih baik lagi. Pendekatan ergonomi dalam perancangan teknologi di industri telah menempatkan rancangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik menjadi tampak lebih manusiawi.  Disini faktor yang terkait dengan fisik (faal/fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia baik secara individu pada saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah rancangan sistim manusia-mesin dan lingkungan kerja fisik akan dijadikan pertimbangan utama (Emerson and Nahring, 1988). 

       Demikian juga sesuai dengan ruang lingkup industri yang pendefinisiannya terus melebar-luas (dalam hal ini industri akan dilihat sebagai sebuah sistem yang komprehensif-integral); maka persoalan industri tidak lagi dibatasi oleh pemahaman tentang perancangan teknologi produk dan/atau teknologi proses (ruang lingkup mikro) saja, tetapi juga mencakup ke persoalan organisasi dan manajemen industri dalam skala sistem yang lebih luas, makro dan kompleks (lihat gambar 3).  Problem industri tidak lagi berada didalam dinding-dinding industri yang terbatas, tetapi juga  merambah menuju ranah lingkungan luarnya, sehingga memerlukan solusi-solusi yang berbasiskan pemahaman tentang konsep sistem, analisis sistem dan pendekatan sistem dalam setiap proses pengambilan keputusan.  Dari aras mikro ergonomi industri akan terkait dengan persoalan-persoalan faktor manusia sebagai individu dalam perancangan area/stasiun kerja (workplace design) dan ranah kognitif; sedangkan untuk aras makro, ergonomi industri akan berhadapan dengan berbagai ragam variasi budaya (cultural variables) yang memerlukan pendekatan-pendekatan sistemik dan holistik didalam menyelesaikan persoalan organisasi industri yang semakin kompleks (Wignjosoebroto, 2011)..

       Laboratorium Ergonomi dan Perancangan Sistem Kerja (EPSK) --- selain Laboratorium Sistem Manufaktur --- adalah merupakan laboratorium dasar yang dikenal dalam membentuk kompetensi lulusan Teknik Industri khususnya dalam ranah mikro..  Pembentukan kompetensi dipenuhi melalui berbagai program praktikum yang memberikan pengalaman praktek merancang sistem integral dengan segala aspek yang melingkupinya; misalkan proses pengukuran, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, sintesis, dan lain-lain. Sistem integral yang dimaksud didefenisikan berdasarkan tingkatan dalam suatu system.  Tingkatan sistem integral yang dimaksud meliputi (a) sistem yang mencakup aspek temu-muka (interface) antara manusia-mesin seperti rancangan produk yang ergonomis, rancangan display, dll, (b) Sistem yang menyangkut stasiun kerja, dimana manusia menggunakan peralatan pada suatu lingkungan tertentu untuk melakukan kerja tertentu. (c) sistem yang menyangkut lantai pabrik atau sistem produksi (operasi) yang terdiri dari kumpulan stasiun kerja yang membuat produk dari akhir sampai selesai, dan (d) sistem makro yang menyangkut suatu perusahaan yang terdiri dari sistem produksi dan bagian-bagian pendukung lainnya sebagai suatu kesatuan.

       Praktikum yang dilaksanakan di laboratorium membutuhkan tujuan yang jelas (learning objectives) agar dapat dijalankan secara efektif. Ruang lingkup sistem integral yang menjadi area tanggung jawab pembentukan kompetensi melalui Laboratorium EPSK meliputi dua aspek perancangan, yaitu (a) produk (man-machine aspects) ditinjau dari sisi aspek antropometri, human factors, dan perancangan produk ataupun fasilitas kerja ergonomis); dan (b) stasiun kerja yang mencakup pengukuran waktu standar, ekonomi gerakan, perancangan sistem kerja dan lingkungan fisik. Sedangkan untuk perancangan sistem produksi (menggambar teknik, proses produksi, rencana produksi), sistem perusahaan/industri (ide produk, kelayakan bisnis), komputasi & statistika industri (memperkuat pemahaman teori: tools software), serta simulasi industri merupakan ranah tanggung jawab laboratorium yang lain.

Penutup

       Banyak orang yang salah menginterpretasikan pengertian tentang industri.  Istilah “industri” dalam berbagai kasus sering dilihat dalam kaca-mata sempit sebagai “pabrik” yang banyak bergelut dengan aktivitas manufakturing. Sesuai dengan “nature”-nya,  industri bisa diklasifikasikan secara luas yaitu mulai dari industri yang menghasilkan produk-barang fisik (manufaktur) sampai ke produk-jasa (service) yang non-fisik.  Industri juga bisa kita bentangkan dalam pola aliran hulu-hilir sampai ke skala kecil-menengah-besar.  Demikian juga problematika yang dihadapi oleh industri --- yang kemudian menjadi fokus kajian/studi tentang ergonomi industri --- bisa terfokus dalam ruang lingkup mikro (lantai produksi) dan terus melebar luas mengarah ke problematika manajemen produksi (perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian dan pengendalian sistem produksi) yang harus memperhatikan sistem lingkungan (internail maupun eksternal) dalam setiap langkah pengambilan keputusan berdimensi strategik. 

       Industri seharusnya dikelola secara khusus melalui pendekatan ergonomi. Banyak masalah yang terjadi di area sistem produksi yang memerlukan aplikasi konsep dan metode ergonomi untuk penyelesaiannya seperti rendahnya kualitas maupun produktivitas kerja. Persoalan-persoalan tersebut umumnya muncul, oleh karena tidak diterapkannya pendekatan ergonomi industri pada saat perancangan stasiun kerja (workstations/places), fasilitas kerja (machine and tools), produk, proses, ataupun lingkungan kerja (work environment).  Dalam hal ini peneliti-peneliti ergonomi industri diharapkan mau dan mampu memenuhi tantangan industri dengan mempromosikan pendekatan ergonomi (ergonomics method) untuk memberikan kontibusi dan solusi konkritnya.

       Kalau awalnya profesi Teknik Industri secara tradisional mengurusi persoalan-persoalan di tingkat pengendalian operasional (manajemen produksi/operasional) seperti perancangan-perancangan tata-letak mesin, tata-cara kerja, sistem manusia-mesin (ergonomi) dan penetapan standard-standard kerja; maka dalam beberapa dekade terakhir ini disiplin Teknik Industri lebih banyak dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perencanaan strategis dan pengambilan keputusan pada tingkat manajemen puncak.  Persoalan yang dihadapi tidak lagi dibatasi dalam skala kecil (mikro) melainkan juga berkembang ke skala besar (makro).  Sebagai contoh kalau awalnya studi tentang ergonomi, tata cara dan pengukuran kerja lebih difokuskan ke skala stasiun kerja sekedar untuk mendapatkan standar-standar (waktu, output ataupun upah) kerja guna merealisasikan konsep “the fair day’s pay for the fair day’s work”; maka belakangan ini banyak diaplikasikan untuk melakukan pengukuran produktivitas dan kinerja makro organisasi-perusahaan guna menilai sehat tidak-nya kondisi industri tersebut. 

Referensi & Kepustakaan
Badan Kerja Sama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri – BKSTI (2007). Kurikulum Inti Program StudiI Teknik Industri (Tingkat Sarjana/Strata 1).

Bailey, Diane E. and Barley, Stephen R.  Return to Work: Toward Post-Industrial Engineering. IIE Transactions (2005) 37, 737-752.  ISSN: 0740-817X print/1545-8830 online.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas (2005). Standar Minimum Laboratorium Teknik Industri.

Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas (2008). Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Sarjana Teknik Industri.

Emerson, Howard P. and Douglas C.E., Naehring (1988).  Origins of Industrial Engineering:  The Early Years of a Professions.  Atlanta, Norcross-Georgia:  Industrial Engineering & Management Press, II.

Feisel, L.D. and Albert J. Rosa (2005). The Role of the Laboratory in Undergraduate Engineering Education. Journal of Engineering Education, Vol. 94, no. 1, p. 121-129.

Turner, Wayne. et.al (2003). Introduction to Industrial and System Engineering.

Wignjosoebroto, Sritomo (2011). Ergonomi Industri dalam Pendidikan Terintegrasi : Pendekatan Ergonomi Menjawab Problematika Industri. Disampaikan dalam acara Semiloka Linieritas Ergonomi 2011 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada tanggal 21 April  2011 di Denpasar - Bali.


Catatan :

1)       Tulisan dipersingkat dan disampaikan sebagai Keynote dalam acara 11th National Conference of Indonesian Ergonomics Society 2011 “Serving humanity for a Better Life”  yang diselenggarakan oleh Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia pada tanggal 15 September 2011 di gedung Pusat Studi Jepang - Universitas Indonesia, Depok.
2)       Anggota Tim Penyusun Standar Minimum Laboratorium Teknik Industri Dikti/Depdiknas, 2005; dan anggota Tim Penyusun Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Sarjana (S1) Teknik Industri Dikti/Depdiknas 2008.