Senin, 24 Januari 2011

Ergo-Safety Asesmen untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Industri

Industrial ergonomists or industrial engineers who are concerned with worker health and safety must be aware of occupational hazards and the means of avoiding them. Before any process is designed or implemented, a thorough hazard analysis should be carried out in addition to task and use analysis. It is also important that applicable safety and health standards be considered.
(B. Mustafa Pulat, Fundamentals of Industrial Ergonomics, 1992)

Dalam kurun waktu dua dekade (1970-1990-an) lebih, perekonomian Indonesia telah mengalami transformasi perubahan dari perekonomian berbasis pertanian (agricultural based) menuju ke arah perekonomian berbasis industri (industrial based). Sebuah proses yang sering disebut dengan industrialisasi. Perkembangan industri nasional yang tumbuh secara signifikan sampai awal tahun 1990-an, kemudian mencapai titik balik pada saat terjadi krisis ekonomi memberikan dampak penurunan yang cukup signifikan dalam hal output (nilai tambah) dan ekspor di sektor industri manufaktur pada pertengahan tahun 1990-an. Situasi yang kemudian dikenal dengan deindustrialisasi (deindustrialization).

Situasi tersebut diperburuk lagi dengan hubungan yang tidak/kurang harmonis antara manajemen (pengusaha/investor) dengan karyawan baik yang terkait dengan UU 13 tentang Ketenagakerjaan, penetapan UMR yang relatif masih rendah, kepastian hukum yang sulit bisa diperoleh, kondisi keselamatan kerja yang sangat rendah dibanding dengan negara lain, angka pengangguran maupun pemutusan hubungan kerja yang masih tinggi, dan lain-lain. Disisi lain industri nasional juga terus dihadapkan dengan tuntutan peningkatan kualitas dan produktivitas SDM agar bisa bersaing di tingkat global. Dampak yang lebih hebat adalah terjadi pergeseran arus pemindahan modal berupa relokasi industri ke negara-negara yang kebijakan politik dan sosial-ekonominya jauh lebih kondusif. Deindustrialisasi jelas telah terjadi khususnya di sektor-sektor manufaktur dan beberapa permasalahan telah mengakibatkan banyak persoalan yang tidak terlalu gampang untuk dicarikan solusi-solusi konkritnya.

Globalisasi bisa dipersepsikan macam-macam tergantung dari sisi dan kepentingan apa orang melihatnya. Globalisasi bisa diartikan sebagai ancaman terutama bagi mereka yang tidak siap untuk menghadapi arus (global); akan tetapi juga bisa dipersepsikan sebagai peluang bagi mereka yang mampu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Globalisasi telah membawa semua persoalan menjadi semakin kompleks, persaingan semakin keras, dan memerlukan perubahan-perubahan baik dalam struktur organisasi, manajemen maupun sumber daya pendukung operasional di lini produksi.

Dalam konteks yang lebih spesifik, industri juga harus lebih memperhatikan hal-hal yang terkait dengan berbagai standar maupun norma global yang menjadi persyaratan utama bisnis antar negara seperti keselamatan dan kesehatan kerja (K-3) melalui penerapan prinsip dan aturan tentang K-3, serta isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia, upah minimum, lingkungan hidup dan hubungan industrial lainnya. Hal ini menjadi persyaratan mutlak dan wajib dipenuhi jika tidak ingin kehilangan pasar di luar negeri, khususnya bagi industri (manufaktur) yang berorientasi ekspor. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa masyarakat global menghendaki supaya industri nasional semakin peduli dengan eksistensi tenaga kerja baik di dalam maupun di luar tempat mereka bekerja.

Pemicu kesadaran masyarakat global terhadap permasalahan Ergonomi-K3 bisa dilihat dari berbagai tuntutan terhadap jaminan keselamatan seperti : safe air to breath, safe water to drink, safe food to eat, safe place to live, safe product to use, dan safe & healthful workplace (Rachel Carson – Silent Spring, 1965). Berbagai sikap dan reaksi kritis masyarakat global terhadap di semua aspek kehidupan bisa pula dilihat dari berbagai ”larangan” terkait dengan masih rendahnya kesadaran, perhatian maupun praktek-praktek yang terkait dengan permasalahan K3 diIndonesia seperti hal-hal berikut ini :

•Larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia (Aviation Safety)
•Larangan terhadap produk berbahaya dari Indonesia dan China (Product Safety dan
Food Safety)
•Dampak kebakaran hutan di Indonesia (Safe Air -Pollution)
•Keamanan dan keselamatan pada bangunan umum (Public Safety)
•Travel Warning (Public Safety)
•Larangan formalin dan bahan pewarna makanan (food safety)
•Larangan bagi kapal-kapal Indonesia (marine safety-ISM Code)

Berbagai larangan tersebut diatas seolah-olah membuktikan bahwa Indonesia memang tidak pernah siap dan mempersiapkan masyarakatnya untuk transformasi/transisi menuju ke negara industri/modern. Proses pembangunan nasional menuju masyarakat industri dilakukan dengan mengabaikan unsur risiko; sehingga bahaya dan kecelakaan --- diluar faktor bencana alam --- yang mestinya bisa dicegah/dihindari masih terus terjadi, cenderung meningkat dan menimbulkan kerugian semakin besar. Berbagai bencana dan kecelakaan yang terjadi merupakan akibat proses transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, dari low risk society ke high risk society terkait dengan pemanfaatan teknologi (produk maupun proses) yang banyak digunakan maupun dihasilkan oleh industri. Disini potensi bahaya berbanding lurus dengan tingkat risiko yang dihadapi. Semakin besar risiko, maka potensi bahaya dan dampaknya juga semakin besar.

Disisi lain, K3 tampaknya masih belum menjadi budaya kerja dan cenderung berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. Mengikuti teori Maslow, semakin meningkat tingkat kesejahteraan, maka kebutuhan keselamatan (safety/security needs) juga semakin tinggi. Lebih dari 20% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan; dan oleh karena itu faktor keselamatan/kesehatan masih belum menjadi kesadaran dan kebutuhan yang terlalu mendesak. Keselamatan/kesehatan kerja masih merupakan barang mewah dan mahal bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu masyarakat memilih angkutan murah, meriah dan mengabaikan aturan keselamatan; rela berdesak-desakan di atas atap kereta api, berjubel dalam angkutan bus kota, dan lain-lain. Manajemen sendiri juga sering menempatkan masalah K-3 bukan sebagai first priority dan menganggap semua pengeluaran yang terkait dengan program-program K3 hanya sebagai biaya (costs) yang harus ditanggung, pemborosan dan bukan sebagai investasi untuk melindungi asset-asset (mesin, fasilitas dan infrastruktur produksi, dan/atau SDM)-nya.

Kasus kecelakaan di berbagai sektor seperti kecelakaan kerja industri, lalu lintas, angkutan (darat, laut dan/atau udara), konstruksi, pertambangan, kereta api, kebakaran hutan, dan lain-lainnya cenderung tetap tinggi. Kondisi keselamatan kerja di industri juga relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan negara industri lainnya (ILO, 2006). Di lingkungan industri pada tahun 2005 tercatat 96.081 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal sebanyak 2.045 jiwa dan kehilangan hari kerja sebanyak 38 juta hari kerja. Pada tahun 2006 jumlah kecelakaan tercatat 92.743 kasus kecelakaan. Sebagai perbandingan di Jepang sebagai negara industri maju, pada tahun 2000, angka kecelakaan kerja di sektor industri tercatat 1889 kasus sedangkan di Indonesia pada tahun yang sama tercatat 98.902 kasus kecelakaan . Tahun 2000 kerugian nasional akibat kecelakaan mencapai 4% dari GNP, pada tahun 2006 diperkirakan akan meningkat menjadi 5-6%.

Sesungguhnya Indonesia telah mengalami degradasi keselamatan yang sudah mendekati titik kulminasi. Jika segera tidak dilakukan langkah pengendalian, maka korban bencana akan semakin besar dan dengan dampak yang semakin dahsyat. Kecelakaan kerja juga mempengaruhi daya saing Indonesia di tingkat global. K3 memiliki keterkaitan langsung dan berpengaruh secara signifikan dengan daya saing bangsa. Semakin rendah daya saing, menunjukkan angka kecelakaan semakin tinggi. Dampak terhadap ekonomi Indonesia bisa ditunjukkan dengan terhambatnya ekspor produk barang dan jasa ke negara-negara maju yang menerapkan standar K3 tinggi. Dengan kata lain, produk-produk buatan Indonesia tidak kompetitif di pasar global. Kondisi ini menyebabkan penurunan daya saing industri nasional yang mengakibatkan arus barang maupun jasa ke Indonesia bisa masuk ke Indonesia dengan harga murah, karena penerapan standar K3 yang rendah. Resiko penggunaan produk murah dengan standar K3 rendah akan memunculkan potensi terjadinya kecelakaan dan berbagai penyakit gangguan kesehatan yang mengakibatkan biaya sosial tinggi dan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat (Wignjosoebroto, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar