Sabtu, 01 Januari 2011

Ergonomi & Rancangan Produk


Apa itu produk? Produk sering diartikan sebagai benda fisik, artefak, tangibel dan dirancang atau dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia (man-made object). Perancangan produk akan memerlukan berbagai pertimbangan yang terkait dengan faktor manusia (human factors) baik yang menyangkut dimensi ukuran fisik (anggota tubuh) manusia yang nantinya akan digunakan untuk mengoperasikan produk tadi; atau pertimbangan non-fisik manusia (aspek kognitif) seperti estetika penampilan, dsb. Sebuah produk harus dirancang dan dibuat dengan keharusan memperhatikan berbagai atribut pembentuk yang melekat secara terintegrasi. Salah satunya aspek ergonomi dalam perancangan produk yang akan membuat rancangan menjadi lebih nyaman, aman, dan mudah/simple saat digunakan oleh manusia.

Sebuah produk harus dirancang, dibuat dan bisa dijual untuk memenuhi selera dan kebutuhan konsumen. Maksud utama dari perancangan adalah menciptakan sesuatu yang bisa berfungsi dan bermanfaat baik untuk memenuhi kebutuhan manusia dan/atau kesejahteraan mereka. Ulrich & Eppinger (2000) menjelaskannya sebagai "... is something sold by an enterprise to its customers". ; sedangkan untuk pengembangan produk "... is the set of activities beginning with the perception of market opportunity and ending in the production, sale and delivery of a product". Melalui proses perancangan, seorang perancang produk harus mempertimbangkan semua aspek yang menyangkut manusia, kelebihan maupun keterbatasannya. Hal ini menyangkut dimensi fisik anggota tubuh (antropometri), jenis kelamin, usia, physiological/psychological characteristics, dll.


Seorang perancang produk harus bisa memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka yang akan memakai produk rancangannya. Apa-apa yang mereka kehendaki dan ekspresikan sebagai suara konsumen (voice of customers); kemudian dicoba untuk dimengerti, dipahami dan diterjemahkan menjadi parameter teknis sebuah produk yang dirancang. Dalam hal ini ada dua pengertian umum yang harus dipenuhi dalam rancangan produk yang dibuat, yaitu: (1) produk harus memenuhi kriteria kemanfaatan yang akan menjadi tujuan nyatanya dan terukur secara jelas melalui spesifikasi teknis dari performans yang mampu diberikan (aspek kuantitatif) seperti power, speeds, reliability, efisiensi, dll; dan (2) produk harus memberikan arti dan kriteria yang cenderung bersifat kualitatif, yaitu merupakan kombinasi antara faktor-faktor yang bersifat “symbolic” atau “aesthetic”.


Seorang perancang produk harus bisa mengeksplor kreativitas dan inovasi agar rancangan produknya memili karakter, jati diri atau hal-hal lain yang bersifat khas, khusus, unique, atau istimewa. Sebuah produk harus mampu memberikan ciri yang memudahkan orang didalam mengidentifikasikan dan membedakannya dengan produk pesaingnya. Beberapa atribut yang bisa memberi kontribusi pembentukan karakter sebuah produk antara lain di (1) jenis dan kualitas material yang dipergunakan, (2) teknologi proses yang diaplikasikan baik dalam proses mfg/assembly (ketelitian, toleransi, dll), (3) ergonomic qualities (comfort & safety), (4) fungsi operasional (keandalan, performance, dll), (5) estetika (personal taste, hand-made, dll), dan (6) costs/price (murah-mudah rusak atau mahal-kualitas tinggi).

Sangat mendasar sekali kalau seorang perancang produk akan selalu mempertimbangkan manusia segala kelebihan maupun keterbatasan manusia dalam hal kepekaan inderawi (sensory), kecepatan dan ketepatan didalam proses pengambilan keputusan, kemampuan penggunaan sistem gerakan otot, dimensi ukuran tubuh (anthropometri), dan sebagainya; untuk kemudian menggunakan semua informasi mengenai faktor manusia (human factors) ini sebagai acuan didalam menghasilkan sebuah produk yang serasi, selaras dan seimbang dengan manusia yang akan mengoperasikannya nanti. Seorang perancang produk haruslah bisa mengintegrasikan semua aspek manusiawi tersebut dalam karya-karya rancangannya dalam sebuah konsep “Human Integrated Design”.


Analisis mengenai faktor manusia dalam proses perancangan produk ini meliputi evaluasi yang berkaitan dengan karakteristik data fisiologik dan psikologik manusia yang nantinya akan menjadi segmen utama yang akan memakai ataupun mengoperasikannya. Dengan memasukkan unsur-unsur yang berkaitan dengan faktor manusia tersebut --- baik kelebihan, keterbatasan, maupun kekurangannya --- pada saat proses perancangan sedang berlangsung; hasil yang diperoleh nantinya akan berupa “resultant design” dari sebuah sistem manusia-mesin yang optimal. Optimalisasi rancangan produk bisa diperoleh karena disini variabel-variabel operasional dan interaksi faktor manusia dengan sistem mesin yang akan dioperasikannya sudah terintegrasi dalam teknologi produk --- bisa berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) --- yang dirancang.

Secara umum aplikasi konsep Human Integrated Design (HID) dapat dijelaskan berdasarkan 2 (dua) prinsip yaitu: (1) seorang perancang produk harus menyadari benar bahwa faktor manusia akan menjadi kunci penentu sukses didalam operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli apakah sistem tersebut bersifat manual, mekanis (semi-automatics) ataukah otomatis penuh; dan(2) seorang perancang produk harus juga menyadari bahwa setiap produk akan memerlukan informasi-informasi detail dari semua faktor yang terkait dalam setiap proses perancangan. Seorang perancang produk harus mengetahui sistem operasional seperti apa yang dapat dikerjakan lebih baik oleh manusia (didasarkan oleh faktor kelebihan yang dimiliki manusia dibandingkan dengan mesin/alat); dan disisi lain dengan menyadari segala kekurangan serta kelemahan manusia, maka keterbatasan-keterbatasan ini kemudian bisa dialokasikan untuk kemudian dikerjakan oleh sub-sistem mesin (produk) yang dirancang. Data yang berkaitan dengan kelebihan, kekurangan maupun keterbatasan --- baik yang bersifat fisiologik maupun psikologik --- bisa dikembangkan melalui riset ergonomis yang merujuk manusia sebagai obyek dan sekaligus subyek pengamatan. Esensi dasar dari evaluasi ergonomis dalam proses perancangan produk adalah sedini mungkin mencoba memikirkan kepentingan manusia agar bisa terakomodasikan dalam setiap kreativitas dan inovasi sebuah“man-made object”.

Fokus perhatian dari sebuah kajian ergonomis akan mengarah ke upaya pencapaian sebuah rancangan produk yang memenuhi persyaratan seperti yang dinyatakan oleh Granjean (1982) “fitting the design to the man”. Hal ini berarti setiap rancangan sistem manusia - produk yang akan dibuat haruslah selalu dipikirkan untuk kepentingan (dalam arti keselamatan, keamanan, maupun kenyamanan) manusia. Sebuah kajian ergonomis jelas akan merujuk pada kepentingan manusia, tidak semata-mata mengarah pada aspek teknis-fungsional dari produk, mesin ataupun fasilitas kerja yang dirancang. Bilamana tidak ada unsur manusia yang terlibat dalam interaksi sistem manusia-produk (sistem yang bekerja secara otomatis penuh; maka secara tegas dapat disimpulkan kajian ergonomis tidak lagi terlalu signifikan untuk dilakukan.


Perancangan sebuah produk dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek keunggulan teknologi memang juga penting, terutama untuk meningkatkan kemampuan teknis-fungsional dari produk tersebut. Akan tetapi performans produk baru akan bisa maksimal dicapai bilamana terjadi “synergy process” pada saat terjadi interaksi timbal-balik yang serasi dan selaras dengan manusia/operator yang akan melayani, mengoperasikan, dan mengendalikannya. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar perancangan produk seperti yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa jelas akan lebih mudah untuk memodifikasi karakteristik rancangan produk yang disesuaikan dengan kelebihan, keterbatasan maupun kekurangan manusia-operatornya (fitting the design to the man); dibandingkan dengan keharusan kita untuk melakukan modifikasi --- melalui proses seleksi maupun pelatihan (training) --- kemampuan operator guna diakomodasikan dengan karakteristik rancangan produk yang terlanjur dirancang dan harus dioperasikan apa adanya (fitting the man to the design).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar