Jumat, 31 Desember 2010

Implementasi Ergonomi K-3 di Industri Kecil - Menengah


Industri adalah aktivitas/usaha (bisnis) yang akan menjalankan sebuah proses produksi dengan melibatkan berbagai-macam masukan (input) dan menghasilkan keluaran (output). Diharapkan aktivitas ini akan mampu mendatangkan pemasukan (revenue) dan menyisakan keuntungan (profit). Aktivitas yang memiliki nilai-nilai komersial tersebut akan berbeda tingkatannya dengan skala ukuran dari kecil (small scale), menengah (medium scale), besar (large scale) dan multinational. Klasifikasi tingkatan biasanya akan dilihat dari aspek volume penjualan, besar-kecilnya tenaga kerja yang direkrut, besaran modal yang ditanamkan (investasi), serta sistem nilai (value system) yang melandasi visi maupun misi organisasi usaha tersebut didirikan. Karakteristik generik yang biasa dijumpai dalam usaha kecil menengah adalah ruang lingkup aktivitas mereka yang bergerak disektor-sektor semacam (1) primary industry, seperti agrobisnis dan exploitasi sumber-sumber alam), (2) secondary industry, seperti produk-produk seni (arts) atau kerajinan (craft), produk-produk sederhana (consumer goods) yang dibuat secara manual, dan (3) tertiary industry, seperti jasa konsultasi (keuangan, perancangan, dll), commercial activity, wholesale dan retail.

Salah satu faktor yang menjadi titik lemah usaha kecil menengah (UKM) dari sekian banyak kelemahan yang lain adalah organisasi produksinya. Usaha kecil menengah umumnya diawali dari sebuah semangat berusaha --- kewirausahaan atau entre preneurship --- seseorang yang akan mempertaruhkan semua miliknya dengan memikul segala resiko yang ada. Para wirausahawan (entrepreneur) umumnya menjalankan perusahaan berdasarkan naluri (intuisi) dan kebiasaannya sendiri selaku pemilik. Pada saat perusahaan tersebut masih kecil (berbasis rumah-tangga atau home-based industry) boleh jadi tidak ada masalah. Akan tetapi ketika perusahaan berkembang ke skala yang lebih besar dengan tantangan yang lebih kompleks, biasanya masalah serius mulai muncul. Arah perkembangan perusahaan cenderung monoton, menurun dan tidak jarang berakhir harus terus dituntun. Oleh karena itu, sebesar apapun sebuah usaha produktif akan dikelola, sejak awal sudah harus memperhatikan soal organisasi dan manajemen produksinya. Disamping jalannya perusahaan bisa berlangsung baik, pengelolaan perusahaan dengan organisasi yang tertata dan dirancang efektif juga sangat bermanfaat untuk berinteraksi dengan semua “stakeholder”nya. Terlebih menghadapi tantangan global dengan segala macam paradigma perubahannya akan mengharuskan sektor usaha kecil menengah ini untuk lebih peka mengantisipasi dan mengakomodasikannya melalui sebuah organisasi produksi yang dirancang secara efektif dan efisien. Tantangan global yang membawa dampak persaingan ”hidup-mati” memaksa industri nasional harus melakukan revitalisasi guna menyesuaikan dengan perubahan paradigma di lantai produksinya; dan terus menerus berupaya meningkat kan kemampuan daya saing-nya.

Di sektor industri kecil-menengah, organisasi kerja manusia yang serba tidak pasti umumnya akan dirancang dengan mengikuti hukum-hukum operasional mesin yang serba eksak, pasti dan mengikuti logika rasional. Tantangan untuk meningkatkan produktivitas kerja tidak dilakukan melalui pengembangan teknologi proses produksi, melainkan melalui penataan dan pengorganisasian kerja manusia. Bagi industri kecil-menengah, investasi dan asset perusahaan yang terpenting adalah manusia. Manusia adalah “a vital machine”. Menurut Robert Owen (1771-1858) perbaikan dalam kondisi kerja seperti pengaturan/ pengurangan jam kerja (dari 13 jam menjadi 10, 5 jam per hari), penolakan penggunaan tenaga kerja anak-anak (meskipun murah tetapi kinerjanya rendah disamping kurang manusiawi), dan menciptakan suasana kompetisi dikalangan pekerja merupakan langkah signifikan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan keuntungan perusahaan. Disisi lain Charles Babbage (1792-1871) telah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk melakukan efisiensi melalui pengaturan tata cara kerja guna meningkatkan produktivitas dan pengurangan biaya (costs reduction). Pemikiran Babbage diaplikasikan dengan merancang pembagian kerja karyawan dengan membentuk divisi-divisi kerja (division of labor) yang terformulasi dan terspesialisasi secara analitis dan sistematis jelas. Setiap pekerja harus direkrut, disiapkan dan dilatih untuk menguasai satu ketrampilan (spesialisasi) dan hanya bertanggung-jawab terhadap tugas spesifiknya saja.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Owen maupun Babbage tersebut kelak kemudian dikenang sebagai langkah awal dari era klasik tentang organisasi kerja manusia di industri. Frederick Winslow Taylor (1856-1905) selanjutnya mematangkan teori, konsep, maupun prinsip yang telah dikembangkan oleh Owen maupun Babbage dan memformulasikannya dalam karya monumentalnya, “the Scientific of Management”. Konsep manajemen ilmiah menjawab kebutuhan untuk melakukan pendekatan-pendekatan kuantitatif didalam mengukur kinerja produksi melalui perbaikan tata cara dan efisiensi kerja (methods engineering). Identifikasi dan eliminasi aktivitas kerja tidak produktif merupakan fokus utama dari studi yang dilakukan oleh Taylor. Dalam setiap rancangan kerja selalu diupayakan untuk memperoleh satu langkah terbaik (one best and cheapest way) untuk mengoperasionalkannya. Selanjutnya ditetapkan standar-standar kerja --- melalui pengukuran waktu kerja (time study) --- sebagai tolok ukurnya. Melalui penerapan manajemen ilmiah dalam operasionalisasi aktivitas produksi, maka pekerja akan direkayasa gerak dan aktivitas kerjanya secara analitis. Langkah ini tidak lain merupakan implementasi dari pendekatan ergonomi atau human factors engineering; sehingga individu pekerja potensinya sebagai “human being” akan bisa dikembangkan secara maksimal. Apa yang telah dikerjakan oleh Taylor lewat manajemen ilmiahnya, kemudian dilengkapi lagi oleh pasangan suami-istri Frank & Lillian Gilbreth. Disini dengan tetap menekankan pada signifikansi pengaturan gerakan – gerakan kerja (motion study) dan ditambah dengan pengaturan frekuensi istirahat untuk melepaskan lelah (scheduling breaks); Gilbreths juga memberikan perhatian khusus pada peningkatan kesejahteraan pekerja melalui program standardisasi upah dan pemberian bonus/insentif kerja. Teknik-teknik peningkatan produktivitas kerja melalui efisiensi kerja (Time & Motion Study), yang dikembangkan oleh Taylor dan Gilbreth ternyata mampu memberikan kesadaran dan wawasan baru, yaitu bagaimana gerakan-gerakan fisik kerja (baik yang dilakukan oleh manusia pekerja, mesin, fasilitas/peralatan kerja, maupun material) yang terlibat selama proses kerja berlangsung dapat diperbaiki serta dibuat lebih efisien dan rasional. Kedua studi ini, selain memberikan keuntungan-keuntungan yang bisa dicapai melalui efisiensi kerja, juga mampu meningkatkan moral kerja karyawan (karena di kaitkan dengan prinsip “the fair day’s pay for the fair day’s work”) melalui pemberian upah dan bonus/insentif kerja.

Dalam hal peningkatan daya saing, industri tidak saja harus mampu meningkatkan produktivitas totalnya akan tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas, menekan biaya dan memenuhi keinginan kustomer secara tepat waktu. Disisi lain industri juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan dan produktivitas melalui peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks yang lebih spesifik, industri juga harus lebih memperhatikan hal-hal yang terkait dengan faktor keselamatan dan kesehatan kerja (K-3) melalui penerapan prinsip dan aturan tentang K-3, serta isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup dan hubungan industrial lainnya. Hal ini menjadi persyaratan mutlak dan wajib dipenuhi jika tidak ingin kehilangan pasar di luar negeri, khususnya bagi industri (manufaktur) yang berorientasi ekspor. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa masyarakat global menghendaki supaya industri nasional semakin peduli dengan eksistensi tenaga kerja baik di dalam maupun di luar tempat mereka bekerja.


Industri seharusnya dikelola secara khusus melalui pendekatan ergonomi. Banyak masalah yang terjadi di area sistem produksi yang memerlukan aplikasi konsep dan metode ergonomi untuk penyelesaiannya seperti rendahnya kualitas maupun produktivitas kerja. Begitu juga dengan permasalahan K3 (Occupational Safety and Health) yang banyak menimpa pekerja maupun biaya tinggi yang muncul akibat produk cacat (waste) ataupun nonproductive activities (idle, delay, material handling, accidents), dan lain-lain. Persoalan-persoalan tersebut umumnya muncul, oleh karena tidak diterapkannya pendekatan ergonomi pada saat perancangan stasiun kerja (workstations/places), fasilitas kerja (machine and tools), produk, proses, ataupun lingkungan kerja (work environment). Dalam hal ini peneliti-peneliti ergonomi diharapkan mau dan mampu memenuhi tantangan industri dengan mempromosikan pendekatan ergonomi (ergonomics method) untuk memberikan kontibusi dan solusi konkritnya.

Dalam berbagai kasus, para peneliti ergonomi bisa menjumpai banyaknya produk dan/atau mesin/peralatan kerja yang digunakan di industri yang tidak tepat/layak dioperasikan karena persoalan ketidaksesuaian dimensi antropometri. Perbedaan ukuran anggota tubuh (antropometri) yang dipakai dalam menentukan dimensi-dimensi perancangan (industrial machinery, equipment, tools, dll) akan memberikan konsekuensi-konsekuensi ergonomi (ergonomic consequences) yang mengakibatkan rendahnya produktivitas, kualitas, K3 dan persoalan serius lainnya. Oleh karena itu diperlukan evaluasi dan intervensi ergonomi untuk merancang ulang (redesigned) ataupun modifikasi untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja manusia. Problem pokok yang dijumpai adalah tidak adanya --- kalau sudah ada masih perlu dilakukan updating --- referensi yang terkait dengan data antropometri populasi manusia Indonesia.

Problematik ergonomi mudah untuk dijumpai di ranah industri tradisional, khususnya di area pertanian (agricultural), industri rumah tangga (home industries) dan industri kecil-menengah (small & medium-scale industries). Problem ergonomi industri tidak hanya dijumpai di area lantai produksi (micro-ergonomics) melainkan juga bisa kita lihat di seluruh aras sistem produksi makro dalam skala organisasi/industri (organizational/industrial scale). Penelitian ergonomi yang awalnya difokuskan pada interaksi manusia mesin (human-machine or human-work place environment); lebih lanjut terus bergeser naik menanggapi persoalan-persoalan perubahan kondisi sosial dan lingkungan (social-environmental changes) yang lebih luas. Banyak studi ergonomi makro yang telah dilaksanakan untuk menghasilkan metoda dan pendekatan yang tepat untuk menjawab problematik industri yang terus berkembang lebih kompleks dan penuh dengan ketidakpastian seperti Analisa Produktivitas, Job Design, Organizational Design, Participatory Ergonomic, System Approach, SHIP, TQM, Performance Measurement, Supply-Chain Management, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar